Sunday, September 07, 2008

SUATU SORE DI HARI MINGGU

Suatu sore di hari minggu, gue lagi berdiri di depan rumah, menanti tukang bakso langganan. Seorang ibu usia sekitar 50an lewat. Ibu yang lumayan gemuk itu mengenakan daster sederhana. Tapi yang bikin gue heran, ck…ck… emas yang dia pakai itu bokkk…: di telinga; di leher; di jari-jari; di pergelangan tangan; komplet! Mungkin semua persediaan emas yang dia punya, dia gandulin di tubuhnya. Gue heran,,, kok ada ya manusia kayak gitu?

Nggak nyangka, ternyata si ibu yang sedang gue batinin itu, malah menegur gue.
“Mbak yang punya rumah, ya?” dia bertanya sambil melihat ke balik kepala dan bahu gue. Mengamati rumah.
“Iya Bu. Ada apa ya?” Tanya gue sambil senyum sopan.
“Saya tinggal di blok sebelah. Sudah lama dengar nama mbak. Mbak Dewi kan? Tapi baru sekarang ketemu.”
“Oh, kita tetangga ya?” Gue jabat tangannya sambil terus pasang senyum. Dalam hati gue mencatat: ternyata - oh ternyata, diriku sering dijadikan objek pembicaraan oleh ibu-ibu di sekitar rumah. Jadi selebriti komplek nih. Hm…jadi objek pembicaraan di kalangan para bapak-bapaknya juga nggak ya?? Halah!!

Ibu itu menyebutkan namanya: Bu Sukandar, apa Bu Sukardi, atau Bu Sukaryo… persisnya sih gue lupa. Tapi sepertinya antara-antara itu lah.
“Rumahnya enak ya. Ini rumah sendiri atau…?”
Gue jawab pertanyaannya dengan ramah, Dia bukan orang pertama yang kasih komen tentang rumah, makanya gue biasa-biasa aja.
“Kelihatannya masih kecil.” Katanya sambil mengamati gue, dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Wah, “disetrika” nih. Diamati dan dikomentari seperti itu, gue secara refleks jadi “melihat” diri sendiri: kaos belel dan celana jeans robek selutut, tanpa alas kaki, rambut diikat dengan jepit besar sekedarnya, dan wajah super polos.

Gue bingung, apa yang dia maksud dengan “masih kecil” itu.
Tapi sebelum gue sempet ngomong, si toko emas berjalan sudah bicara lagi.
“Ada umurnya 29?” wajahnya bertanya serius. Tangannya yang memakai sekaligus beberapa gelang emas besar, dan jari-jarinya yang penuh cincin berkilau, berseliweran di depan gue saat dia menunjuk gue.
“Eh?” gue kaget. Nggak siap banget ditebak umur. Si ibu ini serius apa ngetes gue ya… “Enggak kok bu…..” jawab gue.
“27 kali ya?” sambarnya lagi.
Yaaa elah… becandanya kelewatan deh nih ibu.
“Mbak tinggal sama siapa?” tanyanya lagi setelah gue sebutkan usia gue di atas 30. Apa pentingnya ya usia gue buat dia?
“Sendiri. Tapi rumah orang tua saya dekat sini,” bilang gue menjawab pertanyaannya.
“Kenapa tho masih sendiri? Tapi sudah ada calonnya kan?? Teman-temannya di kantor. Kan banyak tho?”
(WOOIIII…. Siapa yang memintamu untuk menjadi PENASIHAT perjodohanku?? Wahh...)
Karena tidak siap dengan arah percakapan yang ini, gue hanya bisa menjawab dengan cengiran.
“Mau ibu bantu carikan?”
Hahhhh????? Nekat banget nih ibu! Kenal juga baru lima menit…
“Ibu sih mau saja bantu, tapi takut nanti ndak enak sama mbak kalau yang ibu kenalin tidak pas.” (Udah tahu, kok ngomong buuuuuu?? Siapa pula yang meminta bantuan pada ibu?? HADOOOOH…!)

Untunggggg banget, kemudian gue mendengar suara ting ting tukang bakso. Gue buru-buru memanfaatkan momen itu untuk pamit mencari tukang bakso. Dia, eh.. maksud gue si ibu toko emas berjalan itu, gue tinggalin aja.

Hooooalaaaahhhh
Untuk kesekian kalinya gue bertanya, kali ini sambil geleng-geleng kepala: Kok ya ada orang yang seperti ibu itu tuuuh…? Selain gemar pamer, dia juga penuh percaya diri, penuh rasa ingin tahu dan penuh inisiatif. Bagusnya ibu itu jadi karyawan di kantor gue. Bisa jadi karyawan teladan deh.

Toko emas berjalan itu, dengan terpaksa gue black list. Gue bikin catatan dalam hati, kalau besok-besok ketemu dia lagi harus segera menyelamatkan diri.
Maaf ya buuuuuu. Menurut saya, ibu sebenarnya sih baik, tapi kita tampaknya kurang cocok… setidaknya begitulah yang saya rasakan. Hehehehe!

No comments: