Sunday, October 05, 2008

POHON APEL

Guys, this is so inspiring....
***

Lihatlah sebatang pohon apel. Mungkin ada lima ratus apel di pohon, dan masing-masing memiliki sepuluh biji. Wow, banyak sekali bijinya!Kita mungkin bertanya, "Kenapa butuh begitu banyak biji untuk menanam beberapa pohon?"
Alam punya sesuatu untuk diajarkan kepada kita.
Kata alam, "Banyak biji yang tidak tumbuh."Jadi, jika kamu ingin sesuatu terjadi, sebaiknya kamu mencobanya lebih dari sekali.

Ini mungkin berarti:Kamu akan melakukan 20 wawancara untuk mendapatkan 1 pekerjaan.
Kamu akan mewawancara 40 orang untuk menemukan 1 karyawan yang baik.
Kamu akan berbicara dengan 50 orang untuk menjual rumah, vacuum cleaner, asuransi, ide...
Dan kamu mungkin bertemu dengan 100 kenalan untuk menemukan 1 sahabat sejati.

Ketika kita mengerti "Hukum Biji" ini, kita tidak akan menjadi begitu kecewa. Kita berhenti merasa seperti korban. Hukum alam bukanlah sesuatu yang harus dimasukkan ke hati. Kita hanya perlu mengerti hukum alam ini - dan bekerja dengannya.

INTISARI-nya
Orang sukses lebih sering gagal. Mereka menanam lebih banyak biji. Ketika semuanya di luar kendali kita, inilah resep untuk kesengsaraan permanen..........
a) Putuskan bagaimana menurutmu dunia SEHARUSNYA
b) Buat aturan bagaimana SEHARUSNYA semua orang bersikap Lalu, jika dunia tidak mematuhi aturan-aturanmu itu, marahlah! Itu yang dilakukan orang-orang yang selalu merasa sengsara!

Misalkan kamu mengharapkan bahwa:
Teman HARUS membalas bantuan.
Orang-orang HARUS menghargaimu.
Pesawat HARUS tepat waktu.
Semua orang HARUS jujur.
Pacar/Suamimu/Istrimu HARUS ingat ulang tahunmu.

Harapan-harapan itu mungkin masih masuk akal.
Tapi, seringnya, hal-hal itu tidak akan terjadi!
Akibatnya kamu jadi frustrasi dan kecewa.

Ada strategi yang lebih baik.
Miliki sedikit permintaan, dan sebagai gantinya, miliki banyak pilihan!

Untuk hal-hal di luar kendalimu, katakanlah pada diri sendiri:
"AKU INGIN 'A', TAPI KALAU YANG TERJADI 'B', ITU JUGA TIDAK APA-APA, KOK!"

Ini sebenarnya sebuah permainan yang kamu mainkan di kepalamu. Ini adalah pengalihan sikap, dan hal ini memberikanmu lebih banyak ketenangan pikiran...
Kamu ingin semua orang sopan... tapi jika mereka kasar, hal itu tak akan menghancurkan harimu. Santai saja. Kamu lebih memilih hari cerah... tapi hujan juga tidak masalah!

Untuk menjadi lebih bahagia, kita bisa saja perlu untuk
a) mengubah dunia, atau b) mengubah cara berpikir kita.
Dan lebih mudah mengubah cara berpikir kita!

INTISARI-nya
Bukan apa yang terjadi padamu yang menentukan kebahagiaanmu.
Tetapi bagaimana caramu berpikir tentang apa yang terjadi padamu.

Email dari: "Fransiskus Xaverius Husni"

Sunday, September 07, 2008

SUATU SORE DI HARI MINGGU

Suatu sore di hari minggu, gue lagi berdiri di depan rumah, menanti tukang bakso langganan. Seorang ibu usia sekitar 50an lewat. Ibu yang lumayan gemuk itu mengenakan daster sederhana. Tapi yang bikin gue heran, ck…ck… emas yang dia pakai itu bokkk…: di telinga; di leher; di jari-jari; di pergelangan tangan; komplet! Mungkin semua persediaan emas yang dia punya, dia gandulin di tubuhnya. Gue heran,,, kok ada ya manusia kayak gitu?

Nggak nyangka, ternyata si ibu yang sedang gue batinin itu, malah menegur gue.
“Mbak yang punya rumah, ya?” dia bertanya sambil melihat ke balik kepala dan bahu gue. Mengamati rumah.
“Iya Bu. Ada apa ya?” Tanya gue sambil senyum sopan.
“Saya tinggal di blok sebelah. Sudah lama dengar nama mbak. Mbak Dewi kan? Tapi baru sekarang ketemu.”
“Oh, kita tetangga ya?” Gue jabat tangannya sambil terus pasang senyum. Dalam hati gue mencatat: ternyata - oh ternyata, diriku sering dijadikan objek pembicaraan oleh ibu-ibu di sekitar rumah. Jadi selebriti komplek nih. Hm…jadi objek pembicaraan di kalangan para bapak-bapaknya juga nggak ya?? Halah!!

Ibu itu menyebutkan namanya: Bu Sukandar, apa Bu Sukardi, atau Bu Sukaryo… persisnya sih gue lupa. Tapi sepertinya antara-antara itu lah.
“Rumahnya enak ya. Ini rumah sendiri atau…?”
Gue jawab pertanyaannya dengan ramah, Dia bukan orang pertama yang kasih komen tentang rumah, makanya gue biasa-biasa aja.
“Kelihatannya masih kecil.” Katanya sambil mengamati gue, dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Wah, “disetrika” nih. Diamati dan dikomentari seperti itu, gue secara refleks jadi “melihat” diri sendiri: kaos belel dan celana jeans robek selutut, tanpa alas kaki, rambut diikat dengan jepit besar sekedarnya, dan wajah super polos.

Gue bingung, apa yang dia maksud dengan “masih kecil” itu.
Tapi sebelum gue sempet ngomong, si toko emas berjalan sudah bicara lagi.
“Ada umurnya 29?” wajahnya bertanya serius. Tangannya yang memakai sekaligus beberapa gelang emas besar, dan jari-jarinya yang penuh cincin berkilau, berseliweran di depan gue saat dia menunjuk gue.
“Eh?” gue kaget. Nggak siap banget ditebak umur. Si ibu ini serius apa ngetes gue ya… “Enggak kok bu…..” jawab gue.
“27 kali ya?” sambarnya lagi.
Yaaa elah… becandanya kelewatan deh nih ibu.
“Mbak tinggal sama siapa?” tanyanya lagi setelah gue sebutkan usia gue di atas 30. Apa pentingnya ya usia gue buat dia?
“Sendiri. Tapi rumah orang tua saya dekat sini,” bilang gue menjawab pertanyaannya.
“Kenapa tho masih sendiri? Tapi sudah ada calonnya kan?? Teman-temannya di kantor. Kan banyak tho?”
(WOOIIII…. Siapa yang memintamu untuk menjadi PENASIHAT perjodohanku?? Wahh...)
Karena tidak siap dengan arah percakapan yang ini, gue hanya bisa menjawab dengan cengiran.
“Mau ibu bantu carikan?”
Hahhhh????? Nekat banget nih ibu! Kenal juga baru lima menit…
“Ibu sih mau saja bantu, tapi takut nanti ndak enak sama mbak kalau yang ibu kenalin tidak pas.” (Udah tahu, kok ngomong buuuuuu?? Siapa pula yang meminta bantuan pada ibu?? HADOOOOH…!)

Untunggggg banget, kemudian gue mendengar suara ting ting tukang bakso. Gue buru-buru memanfaatkan momen itu untuk pamit mencari tukang bakso. Dia, eh.. maksud gue si ibu toko emas berjalan itu, gue tinggalin aja.

Hooooalaaaahhhh
Untuk kesekian kalinya gue bertanya, kali ini sambil geleng-geleng kepala: Kok ya ada orang yang seperti ibu itu tuuuh…? Selain gemar pamer, dia juga penuh percaya diri, penuh rasa ingin tahu dan penuh inisiatif. Bagusnya ibu itu jadi karyawan di kantor gue. Bisa jadi karyawan teladan deh.

Toko emas berjalan itu, dengan terpaksa gue black list. Gue bikin catatan dalam hati, kalau besok-besok ketemu dia lagi harus segera menyelamatkan diri.
Maaf ya buuuuuu. Menurut saya, ibu sebenarnya sih baik, tapi kita tampaknya kurang cocok… setidaknya begitulah yang saya rasakan. Hehehehe!

Sunday, June 15, 2008

Si Muka Komik

Jek adalah sosok yang unik. aku senang menjulukinya "si muka komik".

dia punya mata yang besar, dan mata itu sangat ekspresif. mata yang begitu intens bersekutu dengan perasaannya yang sensitif. apa pun yang ia rasakan, tercetak jelas pada mata itu, tanpa ada satu apa pun yang dapat menutupinya.

mata dan perasaannya punya kawan sekutu lain. itu adalah bibirnya.
maka, melihat wajahnya yang bulat itu, seperti membaca buku cerita anak TK, yang memaparkan kisah secara sederhana sehingga mudah sangat memahaminya.

persekutuan antara perasaan, mata dan bibir itu, membuat ia punya 1.000 ekspresi yang luarrrr biasa. (nyadar nggak sih lo jek kalo punya muka kayak gitu?!). itulah mengapa aku juluki ia si muka komik. (walau mungkin gak terlalu nyambung ya...)

kadang-kadang aku merasa, ada begitu banyak hal yang selalu berseliweran di dalam pikirannya. ia seolah asyik dengan dunia otaknya sendiri, berdialog dengan hatinya sendiri. bahkan saat berada di tengah orang banyak yang sedang riuh rendah membicarakan sesuatu hal, ia selalu tampak penuh pemikiran. tapi begitu namanya disebut untuk terlibat dalam pembicaraan, dia akan tersentak dengan wajah "kaget" yang sangat terlihat jelas (huaaaahahahahahahahahah...!)

sensitivitas perasaan yang tinggi dan semua pemikiran-pemikiran itu memang tak ia simpan sendiri. cobalah buka blognya (salah satunya ada di link, blognya zaka). di sana semua yang berseliweran di dalam otak dan benaknya ia curahkan. (blog lo banyak man! sampe gue bingung kemaren baca tulisan ttg hal A di blog lo yang X atau yang Y atau yang Z...).

perlu waktu yang cukup panjang untuk mencerna makna pemikirannya. secara dia pemikir, tulisan-tulisannya sarat perenungan dan perumpamaan. (jangan-jangan emang gue yang bloon aja ya...). from deep of my heart... tulisan lo keren. sumpah!


sebagai arsitek, wajar jika dia bisa gambar. tapi jek tak hanya bisa, tapi ia sangat cinta dengan menggambar, melukis, membuat sket, dsb. Di tengah rapat, saat orang-orang sibuk menyimak jalannya meeting dan mencatat hal-hal yang perlu dicatat (kayak jaman kuliah ya... atau jaman SD??) dia sangat sibuk juga mencorat coret buku kerjanya. yang berbeda, kesibukannya adalah membuat sket wajah kami satu per satu!

oh jeeeekkk
aku dengan senang hati selalu menjadi kritikus dari sket-sketmu. karena sket-sket yang kau buat selalu penuh dengan kejutan. aku dengan senang hati juga selalu jadi pemesan pertama untuk dibuatkan sket. untunglah ada jek sehingga acara rapat bulanan kita yang sangat memuakkkkkkan jadi sedikit menyenangkan.


penasaran, seperti apa sket-sket karyanya? nih, aku kasih lihat dua sket favoritku hasil coretannya di tengah rapat.



sket 1: aku dengan jaket tebal yang biasa aku pakai di kantor. lihatlah bentuk alis dan garis matanya... gue bangetttt. melihat sket ini, walau sudah berulang-ulang, selalu sukses membuatku tersenyum lucu. hehehehehhehehehehhehhe



sket 2: Baru dibuat bulan mei lalu. aku dengan bentuk mulut, mata, sampai kuncir rambut yang digambar begitu detail. melihat gambar ini, mengingatkanku pada gambar di buku little house on the prairie karya laura ingalls. tau nggak, salah satu cita-cita gue waktu kecil adalah laura ingalls wanna be! akhirnya kesampean juga.... setidaknya dalam bentuk sket. suatu saat nanti, kalau gue bikin buku cerita anak, gue berharap bisa bekerjasama dengannya.

aku dengan senang hati menjadi penggemarmu: penggemar desain-desain bangunan dan ruangmu, penggemar lukisan2 abstrakmu, penggemar pemikiran-pemikiranmu, penggemar lagu dan musik ciptaanmu, penggemar sket-sketmu, penggemar 1.000 ekspresimu...

rasanya ingin cepat-cepat melihat si junior-mu hadir di dunia ini.
ingin cepat mengetahui, kekayaan apa lagi yang akan bertambah pada dirimu dengan kehadiran si junior yang sudah kau tunggu-tunggu itu.....

Sunday, May 11, 2008

ANTARA AKU, DIA DAN SEPEDA

Aku selalu sirik lihat anak yang satu ini.
Pertama, karena tampangnya: Kulit putih, rambut sedikit bule, hidung mancung; bikin aku jatuh pamor. Lagi pula jarak umur antara aku dan dia jauh banget (sekitar 25 tahun. Hohoho… hiperbola banget guweee).
Kedua, kalau aku jalan berdampingan dengannya, orang-orang akan menatapnya dengan penuh perhatian, sementara aku ditatap penuh curiga. Dengan sirik gue akan melirik ke arah dia: Berkaos ketat shocking pink, bercelana jeans yang mengecil di bagian bawah, dan bersepatu kets. Rambut gaya mohawk. Kelihatan seperti anak SMA. Sementara aku, walau penampilaku juga muda (hehehe), tetep aja keliatan seperti tante. Minimal seperti mbaknya lah… (bukan embak yang bertugas mencuci dan menyapu dan mengepel di rumahnya lho. Awas kalo pada mlesetin kata-kata gue ke arah itu!) Tapi sekeras apa pun usaha gue, tetap nggak akan pernah bisa terlihat seperti teman sebayanya.

Makanya, aku agak males jalan ke mol berdua dia. Tapi dia tampaknya tidak memahami penderitaan gue. Suka tiba-tiba muncul di YM, ngajakin ke puri mol lah, ke anggrek mol lah, ke ITC Permata Hijau lah. Semuanya, buat menemaninya mencari sesuatu, atau hal lain. Intinya sih untuk kepentingan dia. Dan herannya, gue jarang-jarang tega untuk menolaknya. Derita gue deh…
Memang, kadang-kadang dia mau juga untuk pergi ke suatu tempat menemani aku… tapi biasanya ada manfaat yang bisa dia peroleh dari situ. Misalnya dia perlu ambil uang sehingga di perjalanan mampir dulu ke ATM, atau perlu roda untuk kaki meja yang sedang dibuatnya sehingga mampir ke ACE Hardware, dsb. (Huu dasar Padang! Asas untung rugi tuh penting banget ya buat elo.)

Dia biasa memanggilku KaDew. Jangan salahin aku kalau jadi suka galak kepadamu ya… karena panggilan itu, secara refleks, membuat naluri ke-mpok-an gue muncul. Maklum, di rumah semua orang memanggil dengan sebutan itu.

Jadilah dia sering gue marahin. Bukannya nggak terima, dengan girang dia malah memberikan julukan baru untukku: ibu tiri. GRMMMBL!!

Lelaki ini terbilang mungil untuk ukuran cowok. Nggak tahu persis tingginya berapa. Tapi yang pasti belum sampai 170cm. Beratnya mungkin 55kg. Tubuhnya memang ramping, perutnya rata walaupun nggak six pack. Waktu kita semua outing ke tempat arung jeram beberapa bulan lalu, dia, Indra, Martin dan Mas Eko menjelang magrib sempat mandi telanjang dada di sungai. Mulanya semua mengenakan pakaian lengkap. Kemudian aku berteriak. “WOI… Tlanjang duonk.. tlanjanggggg….!”

Dan akhirnya, entah karena norak nggak pernah melihat air sungai yang bersih dan begitu deras mengalir di antara batu-batu besar, entah karena merasa tertantang -- eng ing eng… satu demi satu kaos-kaos itu mulai dilepaskan, dan mereka semua pun terlentang di atas air, memamerkan perut-perut buncit mereka.
(Maap ya… menurut gue kalian kurang seksi. Tapi seneng juga sih bisa melihat isi di balik kaos kalian. Hehehehe…)
Dari situ kita semua tahu, bahwa perutnya lumayan rapi. Tapi berani taruhan, 3-4 tahun lagi perutnya juga akan sama ndutnya dengan yang lain. Gue heran, apa benar ya ada hubungan antara menikah dengan perut para lelaki yang pada membuncit itu?
Seorang Betawi di antara dua orang Padang. Motret di laptop Riri. Sebenernya dia kesel banget karena gue gangguin saat lagi maen game, gue paksa biar mukanya ngliat ke kamera. Tapi, mana mungkinlah dia berani sama KaDew!

Sudah lama aku berniat membeli sepeda. Rencana itu aku sosialisasikan ( tah elaaah) kepada Richard, karena di kantor dia yang paling doyan koleksi sepeda dan tau banyak di mana membeli sepeda yang bagus dan murah.
Kenapa aku ingin membeli sepeda?
Karena sekarang mulai terasa ribet mengharapkan jemputan terus kalau pengen ke rumah nyokap. Jaraknya memang hanya 500 meteran dari rumahku, tapi kalau jalan kaki, aduuh males banget. Jadi aku mau naik sepeda aja.

Heiii, jangan ketawain gue ya karena beraninya cuma naik sepeda. Bersepeda itu kan sehat, dan tidak menimbulkan polusi. Secara sekarang lagi digalakkan gerakan global warming, sikap gue ini sangat mencerminkan kesadaran cinta bumi kaan… Acungin dua jempol buat gue dong…

Rupanya anak satu itu menguping pembicaraanku dengan Richard.
“Beli sepeda gue aja,” katanya.
“Sepedanya kayak apa?”
“Masih bagus. Itu sepeda buatan luar. Enteng banget,” jawabnya.
“Trus, kalau bagus, kenapa mau dijual?”
“Ya… udah nggak gue pake lagi. Sepeda pemberian oom gue, waktu gue SMP. Beneran masih bagus deh. Model sepedanya juga untuk cewek. Cocok buat KaDew.” (Maksud looo? Gue yang udah kerja ini, yang udah umur di atas 30 ini, PANTES pake sepeda anak SMP??? Pengen marah gak sih dengernyaaaaa)
“Kok oom lo ngasih sepeda cewek?” tanyaku antara dongkol, syakwasangka dan penasaran.
“Namanya juga dikasih, kan nggak bisa milih. Oom gue kasih sepeda itu untuk ngegantiin sepeda gue yang ilang waktu itu.”
“Bukan karena lo emang mirip anak cewek?”
“Hiyaaaaaa….”

Sebenarnya, kalau saja dia tidak mendengar pembicaraanku dengan Richard, sepeda itu sudah dianggapnya tak ada. Sudah bertahun-tahun si sepeda hanya mendekam di gudang, lembab, berdebu, tak dipedulikan.
Ketika rencanaku terdengar olehnya, TRING! Keluar deh ide jeniusnya untuk menjual sepeda itu kepadaku.

Tawar menawar harga berlangsung alot. Dari 300, beranjak ke 400, dari 400 beranjak lagi ke 500. Menghadapi anak satu ini memang harus rada-rada cerdas. Kalau nggak, bisa abis deh gue.
“Ah, beli kucing dalam karung nih. Barangnya belom dilihat, udah tawar-menawar,” protesku galak.
“Sepeda gue masih bagus. Rugi dong kalo dijual segitu.”
Mending beli sepeda yang baru aja.

Tanggal 21 April, di hari ulang tahunku, sebelum aku tiba di kantor, dia mengirim SMS.
Isinya:
“Habis gelap terbitlah terang. Semoga sehat selalu, dan sepeda guwe cepet laku. Jangan pelit-pelit.”

Halah!
Gak bisa ya ngucapin selamat ulang tahun dengan tulus, tanpa disisipi pesan bisnis? DASAR PADANGGGG…

Bicara soal suku, dia memang berasal dari padang. Seperti biasanya, masyarakat kita punya potret image tertentu untuk setiap suku. Nah orang Padang ini lekat dengan image pelit.
Makanya, kalau sedikit saja dia menampakkan gelagat pelit, langsung aku sembur dengan kalimat: “Dasar Padang!”
Tapi si anak licik ini tak kehabisan akal. Kalau aku mulai hitung-hitungan, untuk hal apa pun kepadanya, dia akan memanggilku pelit lebih dulu. Padahal, sesungguhnya, yang pelit tuh dia. Kepelitan gue itu hanya untuk mengimbangi kepelitan dia saja. Sumpah!

Pendek cerita, sepeda itu pun dia antarkan ke rumahku. Dia datang bersama istrinya yang modis dan manis.
“Bagus nih. Belum ada yang rusak. Enteng kan… coba angkat aja kalau nggak percaya,” katanya sambil mendorong masuk sepeda ke dalam rumah.
“Nggak peduli gue,” jawabku. “Yang penting rodanya bisa muter, dan bisa nganterin gue sampai ke rumah nyokap.”
“Bisa naik sepeda nggak?”

HWAAA….
Terakhir gue naik sepeda waktu SD. Itu sudah lamaaaaaaaaa sekali. Jadi gue mesti belajar keseimbangan lagi.
“Bisa kali. Liat aja nanti,” jawabku antara yakin dan tidak.

Sampai dua minggu sepeda itu ada di rumah, aku belum pernah menggunakannya. Cuma kukeluarkan dari dalam rumah ke halaman, terus dari halaman kumasukkan lagi ke dalam rumah. Kadang-kadang, kalau suasana sepi, aku mainin sebentar di halaman. Gitu-gitu aja beraninya.

Mak tercinta semangat banget melihat sepeda itu. Dan selalu menyemangatiku untuk menaikinya.
“Belajar aja subuh-subuh di luar rumah. Pelan-pelan, nanti bisa juga. Gampang kan,” kata beliau.
Pada suatu hari Minggu, jam masih menunjukkan pukul 5 subuh. Aku keluar sambil membawa sepeda. Suasana sepi. Aman nih, pikirku.
Kukayuh sepeda hati-hati. Agak oleng sedikit, mau jatuh. Aku segera berhenti. Lalu mulai kukayuh lagi. Masih oleng. Duhhh susah amat sih!
Akhirnya mulai bisa.
Saat sedang asyik memang suka lupa waktu ya. Nggak terasa bahwa hari mulai terang. Tapi aku masih semangat mengayuh sepeda. Aku yang memang nggak punya bakat sabar, mengayuh sepeda terlalu kencang. Tiba-tiba sepeda oleng ke kiri, dan aku nyusruk di atas rumput.
“Mamaaaaaa!!”

Aku bangun, sambil tengok kiri dan kanan.
Mampus gue! Ada cowok lagi buka pintu gerbang rumahnya, mau ngeluarin mobil. Itu cowok terbengong-bengong ngeliat gue. Mungkin dia pikir, “Ini emak-emak dari mana sih, udah tua masih belajar main sepeda, udah gitu nyusruk lagi!”
HWADOOOHHH… gue maluuuuu
Langsung saja aku ngibrit. Alah maaakkk… sepedanya ketinggalan. Kiamat deh! Aku terpaksa balik lagi, mengambil sepeda itu, sambil pasang muka kenceng. Pura-pura cuek padahal malu banget.


“Udah bisa belom naik sepedanya?” Tanya Novriansyah Yakub, alias Riri, si penjual sepeda itu.
Males banget gue menanggapi pertanyaan itu.
Gue diam. Nggak jawab.
“Udah bisa belommmm?”
Akhirnya, gue menjawab. “Kalau mau jual sepeda, di mana ya? Bisa nggak kalau sepedanya gue balikin lagi ke elo”
“HAHHHH???!!”

Monday, April 28, 2008

The Best Moment in My Life

1. Falling in love (yang ini ni, mampu membuat kita semua jadi nggak waras)

2. Laughing till my stomach hurts (satu-satunya orang yang pernah sukses membuat gue ketawa sampai lemes dan muka pegel-pegel adalah Martin. Atin emang ga ada matinya! God bless you, man!)

3. Listening to my favorite song on the radio (ini jelasss... siapa yang gak suka?)

4. Going to sleep, listening to the rain pouring outside (gue tergila-gila dengan hal ini! nikmatnya, ngalahin apa pun!)

5. Getting out of the shower and wrapping myself with a warm, fuzzy towel (hangat, lembut, halus, wangi)

6. Being a part of an interesting conversation (kalau nggak nyambung, ngomong aja sama tembok kan...?)

7. Finding some money in some old pants (pernah nemu 100 ribuan yang udah lecek di saku jeans. hepiiii banget!)

8. Having a great time with all my friends!!
(btw, liat ada yang aneh ga di foto ini? hayo coba diperhatiken bae bae...)

9. "Accidentally" hearing someone say something good about me (pengennya siiih... tapi teman-teman gue selalu sukses mengetahui kedatangan gue, sehingga kesempatan itu tidak pernah berhasil gue dapatkan. Bwaaahahahaha!)

10. Watching the sunset (luar biasa indah... sunrise juga katanya indah banget, tapi belum pernah liat sih, karena bangunnya keduluan sama matahari)

11. Listening to a song that reminds me of an important person in my life (Bisa nangis bombay kalau denger lagu "Kompor Mleduk". hu hu hu... gue kangen sama benyamin S)

12. Receiving my first kiss. (Mmmuaachh.. mmmm...mmm. gak bakal lupa laah).

13. Feeling this buzz in my body when seeing this "special" someone. (gugup, panik, salting, gak fokus, pokoknya norak abiss. kalau ciri-ciri ini muncul, itu artinya ada si "special someone" around me)

14. Seeing the one I love happy (absolutely!)

15. Visiting an old friend and remembering great memories (harus nginep. malamnya bernostalgia masa lalu, sampai pagi. ketawa-ketawa mengingat hal gokil yang pernah kita lakukan di masa dulu)

16. Hearing someone telling me "I LOVE YOU".. (ooohhh... mauuuuuu!)

Wednesday, April 23, 2008

21 April 2008

Lagi tidur enak-enak (enak banget deh, karena lagi mimpi bagus) tiba-tiba gue dikagetkan suara “TEET… TEEEETTT…” yang heboh banget. Seperti ada yang menampar pipi gue, gue langsung melek. Clingak-clinguk bentar, trus lompat dari ranjang begitu ngéh itu suara bel pintu.

Refleks kulirik jam di atas rak buku. Mampus gue, udah jam 8.35! Suara TEETT… TEEETTTT… itu masih menjerit-jerit. Gue terjang pintu kamar tidur, gue seruduk pintu samping, dan lari-lari menuju pintu gerbang.

Di seberang pintu gerbang yang tergembok, menyembul dua wajah manusia. Satu wajah emak gue tercinta. Dan satu lagi wajah jerawatan si anak bontot, adek gue yang bengal. Pasti anak sok keren itu yang mencet-mencet bel kayak orang kesurupan. Si Bontot emang seneng banget mainin bel. Kayak anak udik yang primitive. Walaupun kita orang Betawi, gak mesti primitive segitunya kale… cukup Mandra aja!

Salah satu bentuk "penyiksaan" yang kita lakukan di ulang tahun Pak We. Inget nggak, pengumuman ultah Pak We, pake ditempel di atas mesin absen? Hu hu hu... ancuuurrr!!

Dengan mata setengah riyep-riyep karena masih kaget antara kondisi tidur dan kondisi melek mendadak yang langsung terpapar sinar terang, kubuka gembok pintu gerbang. Gara-gara semalam browsing materi sambil chatting sama orang-orang gila, gue baru tidur jam 2 pagi. Dan hasilnya sekarang: harus menyambut kehadiran emak gue tersayang dengan kondisi begini.

Malu banget sama emak waktu buka pintu gerbang ketahuan bangun siang. Di tangannya ada dua tentengan yang langsung disodorkan ke tanganku, setelah sukses menarik wajah gue dan menyurukkan bibirnya ke pipi gue yang mengkilap. (iyalah, muka gue mana sempet di-touch up dulu!)

“Selamat ulang tahun anak mama yang cantik!” (Eh, sumpah ya.. bukannya narsis. Emak gue emang bilang gitu. Gak gue kurang-kurangin).

Dengan sedih gue harus mengakui, bahwa kenyataannya pagi ini gue gak cantik sama sekali. Bahkan agak enak diliat dikit, juga enggak kale. Tapi dari dulu emak gue emang gitu, kebiasaan manggil gue gitu. Mo gue beneran cantik kek, enggak kek. Dia ga peduli. Emak guweeee…

Kondisi gue pagi ini, sejujurnya adalah sebagai berikut:
Muka kayak pertambangan minyak. Rambut yang mulai panjang, riap-riapan kayak hantu. Belum lagi pakaian tidur gue, pasti udah gak jelas bentuknya.

Sejurus kemudian gue sadar. What did you say, Mom? Happy birthday?? Ya ampuun… bener. Hari ini jarig gue.

Malu-malu aku lap kilap di wajahku dengan leher baju tidur. “Aku bangun kesiangan karena semalem baru tidur jam 2. Lagian juga lagi eM, Maa…” (Tau kan what is the maksud of “eM” itu? Daripada emak gue ngomel-ngomel karena curiga gue males solat subuh, mending gue jelasin duluan kondisi sebenarnya).

Ternyata emak terkasih belum selesai dengan omongannya. “Semoga sehat selalu, murah rezeki, ingat terus sama Allah, rendah hati, bahagia, dan segera … bla..bla..bla (gak perlu gue tulis detail isi doa dan wejangan emak gue yaa. Pasti udah pada paham lah terusan kalimatnya).

Gue menyambut doa emak tersayang dengan kata “amin” yang panjang dan khidmat. Serius..! Gak boong gue…

Mataku melirik si Bengal yang berdiri sambil nyengir di samping emak. “Selamat ulang tahun, Kak!” katanya sambil cium tangan gue. Eeh.. secara gue orang Betawi, cium tangan sama yang tuaan itu kudu'. Nggak cuma pas Lebaran aja. Nggak perlu terpukau gitu dong.

Emak tercinta gue, datang membawa hadiah special buat gue (isinya rahasia. Tapi gue suka banget. Thx a lot, Mom! You are the best!) beserta sebungkus nasi uduk. Nasi uduk itu, tentu buat sarapan gue. Aduh Mom, aku kan harus jaga dietku. Gak mungkinlah sarapan nasi uduk lagi, seperti masa-masa aku SD sampai kuliah. Sekarang sarapanku cukup air putih, pepaya 2 potong, apel satu biji, dan pisang setandan.

Hehehe.. gak dink!

Hari ini sebenarnya gue berencana brangkat kantor pagi-pagi banget. Pertama, karena harus mengambil pesanan kue buat memuaskan jiwa-jiwa buas temen-temen gue di kantor yang gemar menyiksa orang yang berulang tahun (ampuuunnn… jangan pada cemberut gitu. Jelek, tau!). Dan kedua karena hari ini ada meeting jam 10, khusus membicarakan materi liputan Fokus dan by product yang kedua-duanya gue yang jadi PO. (Kenapa mesti gue sih?!!)
Dalam perencanaan yang sudah gue susun semalam, gue mau berangkat jam 8 pagi. Pada kenyataannya, apa daya, gue baru cabut dari rumah jam 9.20. HWaaaa…

Kesialan masih berlanjut. Supir taksi gue pake acara nyasar segala bawa gue sampai ke Daan Mogot. Padahal tempat gue ngambil kue itu di Komplek Green Ville yang sebenarnya nggak jauh-jauh amat dari kantor.

Jam 10.29 wib hp gue berbunyi. Wah, telepon dari si mister bos.

“Adha dhi manha?" Tanya si bos dengan aksen Jawanya yang medok, tanpa basa-basi.
“Di jalan,” jawab gue.
“Inget khan, raphat jham 10?”
“Iya, ini juga udah mo nyampe. Tadi ambil kue dulu.”
“Ambhil kue dhi manha?”
“Deket kantor kok.”
“Khamu ulang thahun ya hari inhi? Heiiiyyy… themen-themen! Adha yang ulang tahunnn niyy!!”


Ya elah… si bos ni nggak perhatian banget sama gue. Sluruh alam kayaknya tau deh kalo tanggal 21 April itu ulang tahun gue, cuma dia sendirian yang lupa (hehehe... Ge-eR banget gue!). Apa pura-pura lupa? Cieee…

Lewat hp, gue dengar suara sorak-sorak keji dan penuh napsu teman-teman buas gue di kantor. Gue tepok-tepok kotak kue di pangkuan. Untung makanan udah aman. Kalau enggak, abis deh gue.

Setelah menerima telepon dari si mister bos, gue lihat, hp udah penuh dengan sms dan missed call. Semua isi sms, pasti ngucapin selamat jarig. Smua missed call pun pasti demikian. Yang udah sms dan missed call, terimakasih banyak. Aku tahu kalian semua mencintai aku.

Yang bikin gue surprised, di antara sms itu, salah satunya ternyata berasal dari si mister bos. He..he..he.. ternyata… dia ingat juga ultah gue. Maappp, maapppp ya bos atas su’udzon gue tadi.

Gue lihat report-nya, masuk jam 7.15. Walaaah, gue masih dibuai mimpi dia udah ngirim sms. Gue segera pencet open dan baca isi pesannya dengan smangat sambil senyum-senyum girang:
Di sana tertulis:

TEMANS, RAPAT YAKS JAM 10

Gubrakkkk!! !!
Ya elah bossss…
Kirain....
Huuu…!

Para makhluk-makhluk di kantor, udah jingkrak-jingkrak aja lihat tentengan gue. Dan langsung tereak-tereak nyanyi heppi bersdey. Norak banget. Gue pengen banget tereak balik ke mereka: “Puassss?! Puasss????! (Hehehe… ini gue nggak serius sama sekali lo… canda doang...)

Mereka harus puas lah. Please… puas kan? Ngambilnya aja penuh perjuangan karena diiringi kesasar-sasar dan diintimidasi oleh telepon si mister bos. Secara harganya juga bikin kantong gue jebol di tanggal tua gini.
(kalo aja gue boleh memilih, gue pengen banget jarig gue jatuh pada tanggal gajian. Lagian ulang tahun tanggal 21 April bikin sengsara. Karena semua orang gampang ngingetinnya. Ditambah lagi nama gue pakai embel-embel nama pahlawan wanita yang jarig-nya sama ama gue itu. Komplet deh sengsara gue. Hu hu hu...)

Tapi suwer, rasa capek dan lelah gue ilang (Halah!) begitu liat tampang makhluk-makhluk itu begitu damai, tenang dan bahagiaaa menikmati makanan yang gue bawa. Berbondong-bondong mereka bermaksud nambah lagi, berdiri berjejal di pinggir meja tempat kue-kue itu diletakkan, padahal yang dipiring mereka aja belom abis. Dasar! Biasalah.. naluri hewaniah.

Sepotong kue kukirim ke lantai 2, untuk Monique. Sahabat gue, Jay, yang mengantarnya ke sana. Belum sampai 15 menit, masuk sms ke hp.

Wi, gila kue lo uenak bgt! Beli dimana?

Gue kirim jawaban:
Dapur Cokelat. Selamat menikmati

Masuk lagi sms:
Pantesan. Swear, enak banget. Thanks.

Berakhir juga penderitaan gue untuk hari ini. Besok gue bisa kembali menjadi bagian dari kelompok manusia-manusia yang siap mengganyang orang yang berulangtahun. ho ho ho senangnya.....

Friday, April 18, 2008

The Most Important Person

Sosoknya sangat biasa. Kulit sawo matang. Tinggi sekitar 163cm. Berat, mungkin 70kg – aku ingat dia pernah bilang beratnya sekitar itu beberapa bulan lalu. Kelihatannya badannya segitu-segitu aja sampai sekarang. Dengan tinggi 163 dan berat 70, sosoknya jadi keliatan cukup kokoh (tembok kaleee).

Rambutnya ikal, panjang melewati tengkuk, dengan belah tengah yang bagian kiri kanannya kadang jatuh ke sisi depan wajahnya. (Gara-gara “poni samping” yang suka nutupin sebagian wajahnya itu, kami suka banget ngledekin dia sebagai kembaran aktor Surya Saputra. Tentu saja dia seneng setengah mati. Mukanya semu merah dan senyumnya malu-malu gitu kalau dibilang mirip Surya Saputra. Hehehehe.. Ampyuun deh!)

Meski agak gondrong, tapi jatuh rambutnya menempel mengikuti bentuk kepalanya yang peyang (hehehe.. dirinya sendiri yang cerita kalau kepalanya peyang. Dia bilang, nggak akan mau lagi botak. Karena waktu rambutnya dicukur habisteman-temannya ramai berkomentar tentang benjul-benjul di kepalanya itu :D)

“Gue nggak mau botak lagi. Jelek,” katanya. Emang kalo nggak botak, lo brubah jadi cakep? Bwaaaaahahahaha…. B’canda… jangan diambil ati.

Yang juga jadi ciri kuat dari sosoknya, adalah bentuk rahangnya yang persegi empat. Kadang-kadang, saat aku sedang ngobrol berhadapan dengannya, aku tak bisa tidak untuk menatap dan mengagumi bentuk rahangnya. Sangat kotak!

Sama seperti aku, dia berasal dari Betawi dan selalu berbicara dengan logat ibunya itu. Sering gaya bicaranya jadi bahan lucu-lucuan, termasuk kebiasaannya yang jika terlalu bersemangat, jadi agak gagap.

Selalu mau membantu. Selalu punya senyum. Selalu melakukan semuanya dengan antusias. Itulah sedikit diantara begitu banyak kelebihan yang ia punya.

Kadang-kadang, saat aku sudah lelah di tengah pemotretan rumah yang sedang tim kami lakukan, dia masih saja punya tenaga ekstra untuk tidak mengizinkan aku mengangkat sendiri kursi yang ringan sekalipun! Padahal dia sendiri sudah cukup capek mengangkat peralatan foto yang berkilo-kilo beratnya. Bukan itu saja,ia juga yang mengatur lighting dan tiangnya, menggeser barang-barang jika diperlukan agar angle pemotretan menjadi lebih baik.

Aku heran, dia selalu saja punya perhatian untuk beberapa kali mengingatkan aku dan yang lain untuk minum. Memberi tempat duduk padaku dan pada yang lain jika melihat kami berdiri. Juga mengeluarkan komentar lucu saat aku dan yang lain mulai bete.


Aku benar-benar heran, dia selalu punya perhatian lebih untuk teman-temannya. Selalu punya empati buat yang lain meski sebenarnya dialah yang paling patut diberi dukungan ketimbang kami semua. Hampir tidak pernah mengeluh capek, dan tidak pernah menunjukkan rasa sakit hati dengan ledekan-ledekan kami yang kadang kebablasan.

Baru sedikit kelebihannya yang kuungkap di atas. Tapi itu saja sudah cukup menjadi alasan bagi kami semua untuk menyukainya.

Di kantor, dia adalah orang paling penting dan paling dicari. Tanpanya, air minum tidak tersedia di meja kami. Tanpanya, majalah edisi terbaru tidak bisa kami lihat wujudnya karena tidak ada yang mengambilnya dari gedung pusat di Palmerah ke gedung kami di Kebonjeruk. Tanpanya, uang dokter, uang penggantian tol, uang ini dan itu bakal telat datang karena dialah yang bertugas mengambil uang-uang itu dari bagian keuangan.

Tanpanya, semua pekerjaan jadi lebih berat, terutama saat peliputan dan pemotretan: Dia yang menyiapkan alat-alat pemotretan ke dalam koper. Dia yang membawa alat-alat itu ke mobil. Dia yang menyiapkan kendaraan dan menyetirnya hingga sampai ke tujuan. Dia yang mengatur lampu saat pemotretan. Dia yang membantu menggotong dan memindahkan barang ini itu di lokasi. Tidak heran, dia jadi manusia paling penting di kantor kami.


Jejen, manusia paling penting itu, di antara uwi', achie dan trichoy -- di kantin kantor.


Lelaki awal 30an ini punya satu kelemahan: takut pada anjing. Kadang-kadang, untuk menunjukkan rasa setia kawan, kami berusaha pura-pura tidak mengetahui kelemahannya itu. Bukankah biasanya orang paling malu jika kelemahannya dibesar-besarkan? Tapi bukannya senang, dia malah panik berat kalau kami begitu.

Oke… oke… aku juga takut dengan anjing. Tapi anjing yang gimana dulu? Kalau yang kecil, lucu, jinak, apalagi dengan rantai leher terikat, aku berani bangeeet. Sepanjang ada tuan si anjing di dekat si anjing, itu artinya aman -- sekalipun anjingnya gede dan mengendus-endus kakiku, aku berani kok. Sepanjang liurnya tidak meluberi kaki, oke lah.

Tapi kalau sahabatku ini, melihat patung anjing saja sudah bisa membuat kakinya lemas tak bertenaga. Hehehehe!

Pernah sekali waktu dia mengantarku ke sebuah rumah di kawasan Pulomas, yang harus aku survey sebelum diliput. Di dalamnya ada anjing jenis golden retriver. Suara gonggongannya kuat dan galak. Sahabatku ini, yang semula berada di depan, kontan lompat bersembunyi di belakang bahu saya sambil berteriak: “Jeng Dewiiii...” Persis anak kecil.

Aku berusaha menenangkannya sambil geleng-geleng kepala. Lha wong antara kami dan anjing itu dipisahkan pintu besi yang kokoh, kok takutnya sampai segitu?! Saat itu kami masih berada di luar pintu gerbang, sementara anjingnya di dalam rumah bersama pembantu rumah.


Saat pintu gerbang akan dibuka oleh si pembantu, dengan cerewet dia bertanya kepada si mbak: “Anjingnya galak nggak Mbak? Ntar diiket nggak Mbak? Pernah lepas nggak iketannya Mbak? Ngiketnya yang kuat, trus dikurung aja Mbak.”

Sebelum dia merasa yakin si anjing sudah benar-benar diamankan, dia nggak bergerak dari tempatnya berlindung, di balik bahuku. Walahhh!


Seperti hari-hari biasanya, siang tadi, aku, Tri (fotografer) dan dia melakukan liputan dan pemotretan di kawasan Bintaro, Tangerang. Dalam perjalanan menuju lokasi, dia bercerita tentang sebuah acara pencarian bakat penyanyi dangdut di TPI. Ia tertawa-tawa geli menjelaskan aksi latah salah satu peserta perempuan di acara itu.

Sebenarnya, karena tidak menonton acara itu, aku dan Tri tidak bisa terlalu menangkap kelucuan ceritanya. Tapi demi menghormatinya, aku tertawa juga dan memberikan komentar sekadarnya. Begitu juga Tri.


Malamnya, saat aku sedang berada di depan komputer, ponselku berbunyi. Ada sms masuk dari nomor yang tidak dikenal.
Isinya:
Jeng da lg tuch di tpi skrg org latah rame
- Zainal


Ternyata dia yang meng-sms. Bingung? Hehehe… Kira-kira begini maksudnya:
Jeng,(aku dan dia sama-sama orang betawi, tapi entah mengapa, dia selalu memanggilku jeng -- padahal itu kan panggilan untuk perempuan Jawa) masih inget kan tentang penyanyi dangdut latah yang kuceritain tadi siang? Nah, sekarang dia sedang beraksi lagi di TPI. Lucu banget. Nonton deh kalo gak percaya!

Mungkin pulsanya habis, sehingga dia memakai ponsel orang lain -- mungkin ponsel istrinya -- untuk mengabarkan hal ini kepadaku. Makanya di akhir sms dia sertakan namanya, Zainal.

Tidak berapa lama, masuk lagi sms berikutnya, masih dari nomor yang sama.
Isinya:
Jeng dah liat tpi gak!

Aku segera mengetik jawaban sms untuknya.
Ini lagi liat. Hehehe….

Kemudian kupencet send.

Selesai mengirim sms, segera kuraih remote teve. Pesawat kunyalakan, dan kuarahkan channel-nya ke TPI. Sebenarnya sudah beberapa bulan ini aku malas nonton teve, karena hampir muntah lihat tayangan seperti itu muncul tiap hari, dari habis magrib sampai dini hari (Bayangin... Huweekkkhh...!!). Tapi malam ini, kulawan perasaan muak itu, dan kupaksakan mata mengikuti acaranya.

Aku harus nonton, tentu saja bukan karena aku sangat tertarik dengan si latah yang dia ceritakan dengan menggebu-gebu itu.
Aku harus nonton karena tak ingin mengecewakannya.
Terbayang olehku, besok akan melihat tawa gelinya lagi saat bercerita tentang tingkah si latah yang dia tonton malam ini.
Aku tak mau mengulang momen tadi siang, cuma tertawa sekadarnya demi menghargai usahanya menceritakan sesuatu yang lucu, yang sebenarnya tidak terlalu aku pahami.
Aku ingin bisa tertawa dengan pemahaman yang sama dengan yang dia maksudkan...

Juga karena wajahku tidak pandai berdusta, sehingga jika aku mengaku nonton padahal tidak, dia akan segera bisa mengetahuinya. Aku tidak mau ia merasa dibohongi. Aku rela menahan muak ini, demi dia.

Zainal, atau jejen, atau jay, atau nal, adalah sosok manusia yang tulus dengan semua kepolosannya. Zainal, atau jejen, atau jay, atau nal, adalah sahabatku. Selama ini dia bisa menjadi sahabat yang baik, bukan hanya bagiku, tapi bagi kami semua. Aku ingin bisa sedikit saja mengimbangi kebaikan dan ketulusannya, meskipun itu artinya aku harus nonton acara yang paling tidak kusukai ini.