Friday, April 18, 2008

The Most Important Person

Sosoknya sangat biasa. Kulit sawo matang. Tinggi sekitar 163cm. Berat, mungkin 70kg – aku ingat dia pernah bilang beratnya sekitar itu beberapa bulan lalu. Kelihatannya badannya segitu-segitu aja sampai sekarang. Dengan tinggi 163 dan berat 70, sosoknya jadi keliatan cukup kokoh (tembok kaleee).

Rambutnya ikal, panjang melewati tengkuk, dengan belah tengah yang bagian kiri kanannya kadang jatuh ke sisi depan wajahnya. (Gara-gara “poni samping” yang suka nutupin sebagian wajahnya itu, kami suka banget ngledekin dia sebagai kembaran aktor Surya Saputra. Tentu saja dia seneng setengah mati. Mukanya semu merah dan senyumnya malu-malu gitu kalau dibilang mirip Surya Saputra. Hehehehe.. Ampyuun deh!)

Meski agak gondrong, tapi jatuh rambutnya menempel mengikuti bentuk kepalanya yang peyang (hehehe.. dirinya sendiri yang cerita kalau kepalanya peyang. Dia bilang, nggak akan mau lagi botak. Karena waktu rambutnya dicukur habisteman-temannya ramai berkomentar tentang benjul-benjul di kepalanya itu :D)

“Gue nggak mau botak lagi. Jelek,” katanya. Emang kalo nggak botak, lo brubah jadi cakep? Bwaaaaahahahaha…. B’canda… jangan diambil ati.

Yang juga jadi ciri kuat dari sosoknya, adalah bentuk rahangnya yang persegi empat. Kadang-kadang, saat aku sedang ngobrol berhadapan dengannya, aku tak bisa tidak untuk menatap dan mengagumi bentuk rahangnya. Sangat kotak!

Sama seperti aku, dia berasal dari Betawi dan selalu berbicara dengan logat ibunya itu. Sering gaya bicaranya jadi bahan lucu-lucuan, termasuk kebiasaannya yang jika terlalu bersemangat, jadi agak gagap.

Selalu mau membantu. Selalu punya senyum. Selalu melakukan semuanya dengan antusias. Itulah sedikit diantara begitu banyak kelebihan yang ia punya.

Kadang-kadang, saat aku sudah lelah di tengah pemotretan rumah yang sedang tim kami lakukan, dia masih saja punya tenaga ekstra untuk tidak mengizinkan aku mengangkat sendiri kursi yang ringan sekalipun! Padahal dia sendiri sudah cukup capek mengangkat peralatan foto yang berkilo-kilo beratnya. Bukan itu saja,ia juga yang mengatur lighting dan tiangnya, menggeser barang-barang jika diperlukan agar angle pemotretan menjadi lebih baik.

Aku heran, dia selalu saja punya perhatian untuk beberapa kali mengingatkan aku dan yang lain untuk minum. Memberi tempat duduk padaku dan pada yang lain jika melihat kami berdiri. Juga mengeluarkan komentar lucu saat aku dan yang lain mulai bete.


Aku benar-benar heran, dia selalu punya perhatian lebih untuk teman-temannya. Selalu punya empati buat yang lain meski sebenarnya dialah yang paling patut diberi dukungan ketimbang kami semua. Hampir tidak pernah mengeluh capek, dan tidak pernah menunjukkan rasa sakit hati dengan ledekan-ledekan kami yang kadang kebablasan.

Baru sedikit kelebihannya yang kuungkap di atas. Tapi itu saja sudah cukup menjadi alasan bagi kami semua untuk menyukainya.

Di kantor, dia adalah orang paling penting dan paling dicari. Tanpanya, air minum tidak tersedia di meja kami. Tanpanya, majalah edisi terbaru tidak bisa kami lihat wujudnya karena tidak ada yang mengambilnya dari gedung pusat di Palmerah ke gedung kami di Kebonjeruk. Tanpanya, uang dokter, uang penggantian tol, uang ini dan itu bakal telat datang karena dialah yang bertugas mengambil uang-uang itu dari bagian keuangan.

Tanpanya, semua pekerjaan jadi lebih berat, terutama saat peliputan dan pemotretan: Dia yang menyiapkan alat-alat pemotretan ke dalam koper. Dia yang membawa alat-alat itu ke mobil. Dia yang menyiapkan kendaraan dan menyetirnya hingga sampai ke tujuan. Dia yang mengatur lampu saat pemotretan. Dia yang membantu menggotong dan memindahkan barang ini itu di lokasi. Tidak heran, dia jadi manusia paling penting di kantor kami.


Jejen, manusia paling penting itu, di antara uwi', achie dan trichoy -- di kantin kantor.


Lelaki awal 30an ini punya satu kelemahan: takut pada anjing. Kadang-kadang, untuk menunjukkan rasa setia kawan, kami berusaha pura-pura tidak mengetahui kelemahannya itu. Bukankah biasanya orang paling malu jika kelemahannya dibesar-besarkan? Tapi bukannya senang, dia malah panik berat kalau kami begitu.

Oke… oke… aku juga takut dengan anjing. Tapi anjing yang gimana dulu? Kalau yang kecil, lucu, jinak, apalagi dengan rantai leher terikat, aku berani bangeeet. Sepanjang ada tuan si anjing di dekat si anjing, itu artinya aman -- sekalipun anjingnya gede dan mengendus-endus kakiku, aku berani kok. Sepanjang liurnya tidak meluberi kaki, oke lah.

Tapi kalau sahabatku ini, melihat patung anjing saja sudah bisa membuat kakinya lemas tak bertenaga. Hehehehe!

Pernah sekali waktu dia mengantarku ke sebuah rumah di kawasan Pulomas, yang harus aku survey sebelum diliput. Di dalamnya ada anjing jenis golden retriver. Suara gonggongannya kuat dan galak. Sahabatku ini, yang semula berada di depan, kontan lompat bersembunyi di belakang bahu saya sambil berteriak: “Jeng Dewiiii...” Persis anak kecil.

Aku berusaha menenangkannya sambil geleng-geleng kepala. Lha wong antara kami dan anjing itu dipisahkan pintu besi yang kokoh, kok takutnya sampai segitu?! Saat itu kami masih berada di luar pintu gerbang, sementara anjingnya di dalam rumah bersama pembantu rumah.


Saat pintu gerbang akan dibuka oleh si pembantu, dengan cerewet dia bertanya kepada si mbak: “Anjingnya galak nggak Mbak? Ntar diiket nggak Mbak? Pernah lepas nggak iketannya Mbak? Ngiketnya yang kuat, trus dikurung aja Mbak.”

Sebelum dia merasa yakin si anjing sudah benar-benar diamankan, dia nggak bergerak dari tempatnya berlindung, di balik bahuku. Walahhh!


Seperti hari-hari biasanya, siang tadi, aku, Tri (fotografer) dan dia melakukan liputan dan pemotretan di kawasan Bintaro, Tangerang. Dalam perjalanan menuju lokasi, dia bercerita tentang sebuah acara pencarian bakat penyanyi dangdut di TPI. Ia tertawa-tawa geli menjelaskan aksi latah salah satu peserta perempuan di acara itu.

Sebenarnya, karena tidak menonton acara itu, aku dan Tri tidak bisa terlalu menangkap kelucuan ceritanya. Tapi demi menghormatinya, aku tertawa juga dan memberikan komentar sekadarnya. Begitu juga Tri.


Malamnya, saat aku sedang berada di depan komputer, ponselku berbunyi. Ada sms masuk dari nomor yang tidak dikenal.
Isinya:
Jeng da lg tuch di tpi skrg org latah rame
- Zainal


Ternyata dia yang meng-sms. Bingung? Hehehe… Kira-kira begini maksudnya:
Jeng,(aku dan dia sama-sama orang betawi, tapi entah mengapa, dia selalu memanggilku jeng -- padahal itu kan panggilan untuk perempuan Jawa) masih inget kan tentang penyanyi dangdut latah yang kuceritain tadi siang? Nah, sekarang dia sedang beraksi lagi di TPI. Lucu banget. Nonton deh kalo gak percaya!

Mungkin pulsanya habis, sehingga dia memakai ponsel orang lain -- mungkin ponsel istrinya -- untuk mengabarkan hal ini kepadaku. Makanya di akhir sms dia sertakan namanya, Zainal.

Tidak berapa lama, masuk lagi sms berikutnya, masih dari nomor yang sama.
Isinya:
Jeng dah liat tpi gak!

Aku segera mengetik jawaban sms untuknya.
Ini lagi liat. Hehehe….

Kemudian kupencet send.

Selesai mengirim sms, segera kuraih remote teve. Pesawat kunyalakan, dan kuarahkan channel-nya ke TPI. Sebenarnya sudah beberapa bulan ini aku malas nonton teve, karena hampir muntah lihat tayangan seperti itu muncul tiap hari, dari habis magrib sampai dini hari (Bayangin... Huweekkkhh...!!). Tapi malam ini, kulawan perasaan muak itu, dan kupaksakan mata mengikuti acaranya.

Aku harus nonton, tentu saja bukan karena aku sangat tertarik dengan si latah yang dia ceritakan dengan menggebu-gebu itu.
Aku harus nonton karena tak ingin mengecewakannya.
Terbayang olehku, besok akan melihat tawa gelinya lagi saat bercerita tentang tingkah si latah yang dia tonton malam ini.
Aku tak mau mengulang momen tadi siang, cuma tertawa sekadarnya demi menghargai usahanya menceritakan sesuatu yang lucu, yang sebenarnya tidak terlalu aku pahami.
Aku ingin bisa tertawa dengan pemahaman yang sama dengan yang dia maksudkan...

Juga karena wajahku tidak pandai berdusta, sehingga jika aku mengaku nonton padahal tidak, dia akan segera bisa mengetahuinya. Aku tidak mau ia merasa dibohongi. Aku rela menahan muak ini, demi dia.

Zainal, atau jejen, atau jay, atau nal, adalah sosok manusia yang tulus dengan semua kepolosannya. Zainal, atau jejen, atau jay, atau nal, adalah sahabatku. Selama ini dia bisa menjadi sahabat yang baik, bukan hanya bagiku, tapi bagi kami semua. Aku ingin bisa sedikit saja mengimbangi kebaikan dan ketulusannya, meskipun itu artinya aku harus nonton acara yang paling tidak kusukai ini.

2 comments:

Private! said...

WAH...Sang Ibu semakin bijak...wekekekek.... Ditunggu reviewnya tentang makhluk-makhluk hidup lainnya yang ada di sekitarnya...hihihiihihi

dewi sajja said...

Gue lagi nunggu ilham dan wangsit untuk nulis tentang kalian semua. Ditunggu aja ya...