Friday, June 08, 2007

TURBULENCE JAKARTA BALI

Weleh! Akhirnya punya waktu juga buat sekadar nulis sesuatu dan berbagi kisah di sini. Dari mana akan kumulai cerita. Hm… dari hal paling menarik dalam hidupku, tentu saja. Pekerjaanku.

Aku sudah beradaptasi dengan pekerjaanku di tempat baru. Makin hari, makin enjoy ngejalaninnya. Hal yang semula begitu sulit, setelah dijalani dan dilalui hari demi hari, edisi demi edisi, akhirnya bisa membuat nyaman juga.

Awal februari lalu aku dan Richard – fotografer, rekan kerjaku – berangkat ke Bali. Ada lima resor dan vila yang mesti kami liput dan foto di sana, untuk edisi khusus “Aplikasi Resor untuk Rumah Tinggal”.

Sebelum berangkat, banyak “cucakrawa” berceloteh dengan riang. “Hwaaaa… Ati-ati aja sama Richard. Jaga-jaga jangan sampai diperkosa,” itu komentar yang paling dominan kudengar. Aku menjawab santai. “Yang ada juga Richard yang gue perkosa, liat aja, nanti pulang dia yang hamil.” Xixixixixix…

Kunjungan ke Bali berlangsung 8 hari. Yang titip oleh-oleh udah bejibun. Yang kasih wanti-wanti bawa sunblock, baju renang, tanktop, topi, kacamata, juga banyak. Aku pun gak kalah semangat. Kebayang pantai Kuta, kebayang bananaboat, kebayang bule-bule cakep. Walaaaaaaaaaaah!!

Hari keberangkatan, sudah dimulai dengan hati ketar-ketir. Pesawat take off rencananya jam 4.45 dari Soekarno Hatta. Ternyata penerbangan ditunda 1 jam karena cuaca buruk. Hujannya deras. Tambah lagi petir. Liat tampang Richard, udah pucat pasi, aku jadi ketularan cemas. Terbayang-bayang berita Adam Air yang hilang dan patah bodynya. Kebayang Garuda yang jatuh dan kebakar. Tanggal keberangkatan kami memang berdekatan dengan tanggal terjadinya kecelakaan pesawat-pesawat itu. Jadi, berita-berita itu masih hangat. Otomatis tambahlah cemasnya. Kuperhatikan wajah-wajah calon penumpang lainnya. Sebagian besar sama pucatnya dengan Richard. Semua diam, sibuk dengan isi hati masing-masing. Mungkin sedang menenangkan diri, mengumpulkan keberanian dan berdoa juga, seperti aku.

Jam 5.45 akhirnya Air Asia yang akan membawa ke Ngurah Rai berangkat juga. Hujan masih turun, walau pun sudah mulai reda. Di dalam pesawat, boro-boro berharap Richard bisa membantu menenangkan gue – secara dia laki-laki, harusnya kan lebih berani dari gue, ya toh? Muka Richard, SUMPAH, pucet abbess. Aku perhatikan gerak dadanya, naik turun dengan cepat. Wah, dia stress banget. Bagaimana gue bisa berharap banyak?

Akhirnya, ya, diem aja. Berdoa dalam hati dan pasrah. Kupikir, kalau memang sudah “waktunya”, tak akan ada yang bisa mencegah. Lagi pula, kematian toh hal yang paling pasti terjadi pada setiap manusia hidup. Jadi kenapa mesti takut. (Padahal, kalau beneran sampai kenapa kenapa, aku belum siap banget. Puji syukur, Dia Maha Baik. Terimakasih Allah)

Perjalanan pesawat selama sekitar 1,5 jam, benar-benar luar biasa. Turbulence rasanya berlangsung berpuluh-puluh kali. Mbak pramugari terus mengumumkan bahwa cuaca sedang “tak bersahabat”, sehingga seat belt harus terus dikenakan sampai kondisi memungkinkan.

Rasanya legaaaa begitu pesawat berhasil landing dengan selamat. Bener-bener plong akhirnya bisa menginjak Bali lagi, dengan selamat. Aku dan Richard pun saling tos sambil teriak-teriak girang. Ih, gak tau malu banget. Ketauan takutnya kan?

Sebelumnya, pengalaman turbulence juga pernah kualami dalam perjalanan pulang dari Bandara Hasanuddin menuju Soekarno Hatta, sekitar empat tahun lalu, sebelum tsunami melanda Aceh. Tentu saja, aku mengunjungi Aceh dalam rangka perjalanan tugas. Tapi turbulence yang kualami kali ini, jauh lebih menakutkan dari pengalaman itu. Gusti Allah, nyuwun pangapuro. Minta besok-besok, kalau naik pesawat lagi, seterusnya aman, bebas turbulence dan segala yang “syerem-syerem” itu. Ngerti kan apa yang kumaksud syerem itu?

Waktu Bali lebih cepat 1 jam dari Jakarta. Kami segera mengubah waktu di handphone dan jam tangan agar sesuai dengan waktu Bali. Pesawat landing jam 20.35 WIT. Mengurus bagasi setengah jam, akhirnya jam 21.10 bisa menghempaskan badan ke dalam mobil hotel yang menjemput kami. Perjalanan malam itu masih berlangsung selama 1 jam lebih menuju Le Meridien Hotel Golf Spa and Resort di kawasan Tanah Lot.

Tiba di sana, sudah menjelang jam 11 malam. Tapi hebatnya, Diana dan Henny, dua bidadari baik hati Le Mer, masih setia menunggu kami datang. Makan makan disajikan di resto hotel, aku dan Richard dipaksa untuk makan walau sudah nggak selera saking “pleng-plengan” akibat pengalaman rohani yang kami alami di dalam pesawat tadi.

Menjelang tengah malam, aku dan Richard terpaksa meminta Diana dan Henny menemani survey lokasi resor yang akan kami garap esoknya. Mereka sampai geleng-geleng kepala. Bukan karena loyalitas tinggi sih, tapi karena hitung punya hitung, waktu kami menggarap Le Mer besok hanya sampai jam 2 siang. Jadi terpaksa waktu yang ada dimanfaatkan. Maaf ya jeng berdua, kalian pasti udah ngatuk berat saat itu.

Dengan mengendarai golf car, kami melewati driving range menuju resort. Jaraknya dari hotel sekitar 500 meter. Lumayan gelap jalan menuju ke sana, karena lansekapnya hanya diberi lighting pada bagian tertentu.

Setelah berkoordinasi dengan Diana tentang property yang kami butuhkan untuk pemotretan besok, akhirnya kami diantar ke kamar. Richard di kamar 228, aku di kamar 236. Sebenarnya pengen langsung tidur. Tapi gak tahan deh. Ditambah lagi, bath room-nya menggoda banget untuk digunakan. Jadi, ritual malam pun dimulai. Bersihin muka, sikat gigi, mandi, sholat, dan baru bener-bener tidur menjelang jam setengah 2 dini hari waktu Bali.

No comments: