Sunday, May 11, 2008

ANTARA AKU, DIA DAN SEPEDA

Aku selalu sirik lihat anak yang satu ini.
Pertama, karena tampangnya: Kulit putih, rambut sedikit bule, hidung mancung; bikin aku jatuh pamor. Lagi pula jarak umur antara aku dan dia jauh banget (sekitar 25 tahun. Hohoho… hiperbola banget guweee).
Kedua, kalau aku jalan berdampingan dengannya, orang-orang akan menatapnya dengan penuh perhatian, sementara aku ditatap penuh curiga. Dengan sirik gue akan melirik ke arah dia: Berkaos ketat shocking pink, bercelana jeans yang mengecil di bagian bawah, dan bersepatu kets. Rambut gaya mohawk. Kelihatan seperti anak SMA. Sementara aku, walau penampilaku juga muda (hehehe), tetep aja keliatan seperti tante. Minimal seperti mbaknya lah… (bukan embak yang bertugas mencuci dan menyapu dan mengepel di rumahnya lho. Awas kalo pada mlesetin kata-kata gue ke arah itu!) Tapi sekeras apa pun usaha gue, tetap nggak akan pernah bisa terlihat seperti teman sebayanya.

Makanya, aku agak males jalan ke mol berdua dia. Tapi dia tampaknya tidak memahami penderitaan gue. Suka tiba-tiba muncul di YM, ngajakin ke puri mol lah, ke anggrek mol lah, ke ITC Permata Hijau lah. Semuanya, buat menemaninya mencari sesuatu, atau hal lain. Intinya sih untuk kepentingan dia. Dan herannya, gue jarang-jarang tega untuk menolaknya. Derita gue deh…
Memang, kadang-kadang dia mau juga untuk pergi ke suatu tempat menemani aku… tapi biasanya ada manfaat yang bisa dia peroleh dari situ. Misalnya dia perlu ambil uang sehingga di perjalanan mampir dulu ke ATM, atau perlu roda untuk kaki meja yang sedang dibuatnya sehingga mampir ke ACE Hardware, dsb. (Huu dasar Padang! Asas untung rugi tuh penting banget ya buat elo.)

Dia biasa memanggilku KaDew. Jangan salahin aku kalau jadi suka galak kepadamu ya… karena panggilan itu, secara refleks, membuat naluri ke-mpok-an gue muncul. Maklum, di rumah semua orang memanggil dengan sebutan itu.

Jadilah dia sering gue marahin. Bukannya nggak terima, dengan girang dia malah memberikan julukan baru untukku: ibu tiri. GRMMMBL!!

Lelaki ini terbilang mungil untuk ukuran cowok. Nggak tahu persis tingginya berapa. Tapi yang pasti belum sampai 170cm. Beratnya mungkin 55kg. Tubuhnya memang ramping, perutnya rata walaupun nggak six pack. Waktu kita semua outing ke tempat arung jeram beberapa bulan lalu, dia, Indra, Martin dan Mas Eko menjelang magrib sempat mandi telanjang dada di sungai. Mulanya semua mengenakan pakaian lengkap. Kemudian aku berteriak. “WOI… Tlanjang duonk.. tlanjanggggg….!”

Dan akhirnya, entah karena norak nggak pernah melihat air sungai yang bersih dan begitu deras mengalir di antara batu-batu besar, entah karena merasa tertantang -- eng ing eng… satu demi satu kaos-kaos itu mulai dilepaskan, dan mereka semua pun terlentang di atas air, memamerkan perut-perut buncit mereka.
(Maap ya… menurut gue kalian kurang seksi. Tapi seneng juga sih bisa melihat isi di balik kaos kalian. Hehehehe…)
Dari situ kita semua tahu, bahwa perutnya lumayan rapi. Tapi berani taruhan, 3-4 tahun lagi perutnya juga akan sama ndutnya dengan yang lain. Gue heran, apa benar ya ada hubungan antara menikah dengan perut para lelaki yang pada membuncit itu?
Seorang Betawi di antara dua orang Padang. Motret di laptop Riri. Sebenernya dia kesel banget karena gue gangguin saat lagi maen game, gue paksa biar mukanya ngliat ke kamera. Tapi, mana mungkinlah dia berani sama KaDew!

Sudah lama aku berniat membeli sepeda. Rencana itu aku sosialisasikan ( tah elaaah) kepada Richard, karena di kantor dia yang paling doyan koleksi sepeda dan tau banyak di mana membeli sepeda yang bagus dan murah.
Kenapa aku ingin membeli sepeda?
Karena sekarang mulai terasa ribet mengharapkan jemputan terus kalau pengen ke rumah nyokap. Jaraknya memang hanya 500 meteran dari rumahku, tapi kalau jalan kaki, aduuh males banget. Jadi aku mau naik sepeda aja.

Heiii, jangan ketawain gue ya karena beraninya cuma naik sepeda. Bersepeda itu kan sehat, dan tidak menimbulkan polusi. Secara sekarang lagi digalakkan gerakan global warming, sikap gue ini sangat mencerminkan kesadaran cinta bumi kaan… Acungin dua jempol buat gue dong…

Rupanya anak satu itu menguping pembicaraanku dengan Richard.
“Beli sepeda gue aja,” katanya.
“Sepedanya kayak apa?”
“Masih bagus. Itu sepeda buatan luar. Enteng banget,” jawabnya.
“Trus, kalau bagus, kenapa mau dijual?”
“Ya… udah nggak gue pake lagi. Sepeda pemberian oom gue, waktu gue SMP. Beneran masih bagus deh. Model sepedanya juga untuk cewek. Cocok buat KaDew.” (Maksud looo? Gue yang udah kerja ini, yang udah umur di atas 30 ini, PANTES pake sepeda anak SMP??? Pengen marah gak sih dengernyaaaaa)
“Kok oom lo ngasih sepeda cewek?” tanyaku antara dongkol, syakwasangka dan penasaran.
“Namanya juga dikasih, kan nggak bisa milih. Oom gue kasih sepeda itu untuk ngegantiin sepeda gue yang ilang waktu itu.”
“Bukan karena lo emang mirip anak cewek?”
“Hiyaaaaaa….”

Sebenarnya, kalau saja dia tidak mendengar pembicaraanku dengan Richard, sepeda itu sudah dianggapnya tak ada. Sudah bertahun-tahun si sepeda hanya mendekam di gudang, lembab, berdebu, tak dipedulikan.
Ketika rencanaku terdengar olehnya, TRING! Keluar deh ide jeniusnya untuk menjual sepeda itu kepadaku.

Tawar menawar harga berlangsung alot. Dari 300, beranjak ke 400, dari 400 beranjak lagi ke 500. Menghadapi anak satu ini memang harus rada-rada cerdas. Kalau nggak, bisa abis deh gue.
“Ah, beli kucing dalam karung nih. Barangnya belom dilihat, udah tawar-menawar,” protesku galak.
“Sepeda gue masih bagus. Rugi dong kalo dijual segitu.”
Mending beli sepeda yang baru aja.

Tanggal 21 April, di hari ulang tahunku, sebelum aku tiba di kantor, dia mengirim SMS.
Isinya:
“Habis gelap terbitlah terang. Semoga sehat selalu, dan sepeda guwe cepet laku. Jangan pelit-pelit.”

Halah!
Gak bisa ya ngucapin selamat ulang tahun dengan tulus, tanpa disisipi pesan bisnis? DASAR PADANGGGG…

Bicara soal suku, dia memang berasal dari padang. Seperti biasanya, masyarakat kita punya potret image tertentu untuk setiap suku. Nah orang Padang ini lekat dengan image pelit.
Makanya, kalau sedikit saja dia menampakkan gelagat pelit, langsung aku sembur dengan kalimat: “Dasar Padang!”
Tapi si anak licik ini tak kehabisan akal. Kalau aku mulai hitung-hitungan, untuk hal apa pun kepadanya, dia akan memanggilku pelit lebih dulu. Padahal, sesungguhnya, yang pelit tuh dia. Kepelitan gue itu hanya untuk mengimbangi kepelitan dia saja. Sumpah!

Pendek cerita, sepeda itu pun dia antarkan ke rumahku. Dia datang bersama istrinya yang modis dan manis.
“Bagus nih. Belum ada yang rusak. Enteng kan… coba angkat aja kalau nggak percaya,” katanya sambil mendorong masuk sepeda ke dalam rumah.
“Nggak peduli gue,” jawabku. “Yang penting rodanya bisa muter, dan bisa nganterin gue sampai ke rumah nyokap.”
“Bisa naik sepeda nggak?”

HWAAA….
Terakhir gue naik sepeda waktu SD. Itu sudah lamaaaaaaaaa sekali. Jadi gue mesti belajar keseimbangan lagi.
“Bisa kali. Liat aja nanti,” jawabku antara yakin dan tidak.

Sampai dua minggu sepeda itu ada di rumah, aku belum pernah menggunakannya. Cuma kukeluarkan dari dalam rumah ke halaman, terus dari halaman kumasukkan lagi ke dalam rumah. Kadang-kadang, kalau suasana sepi, aku mainin sebentar di halaman. Gitu-gitu aja beraninya.

Mak tercinta semangat banget melihat sepeda itu. Dan selalu menyemangatiku untuk menaikinya.
“Belajar aja subuh-subuh di luar rumah. Pelan-pelan, nanti bisa juga. Gampang kan,” kata beliau.
Pada suatu hari Minggu, jam masih menunjukkan pukul 5 subuh. Aku keluar sambil membawa sepeda. Suasana sepi. Aman nih, pikirku.
Kukayuh sepeda hati-hati. Agak oleng sedikit, mau jatuh. Aku segera berhenti. Lalu mulai kukayuh lagi. Masih oleng. Duhhh susah amat sih!
Akhirnya mulai bisa.
Saat sedang asyik memang suka lupa waktu ya. Nggak terasa bahwa hari mulai terang. Tapi aku masih semangat mengayuh sepeda. Aku yang memang nggak punya bakat sabar, mengayuh sepeda terlalu kencang. Tiba-tiba sepeda oleng ke kiri, dan aku nyusruk di atas rumput.
“Mamaaaaaa!!”

Aku bangun, sambil tengok kiri dan kanan.
Mampus gue! Ada cowok lagi buka pintu gerbang rumahnya, mau ngeluarin mobil. Itu cowok terbengong-bengong ngeliat gue. Mungkin dia pikir, “Ini emak-emak dari mana sih, udah tua masih belajar main sepeda, udah gitu nyusruk lagi!”
HWADOOOHHH… gue maluuuuu
Langsung saja aku ngibrit. Alah maaakkk… sepedanya ketinggalan. Kiamat deh! Aku terpaksa balik lagi, mengambil sepeda itu, sambil pasang muka kenceng. Pura-pura cuek padahal malu banget.


“Udah bisa belom naik sepedanya?” Tanya Novriansyah Yakub, alias Riri, si penjual sepeda itu.
Males banget gue menanggapi pertanyaan itu.
Gue diam. Nggak jawab.
“Udah bisa belommmm?”
Akhirnya, gue menjawab. “Kalau mau jual sepeda, di mana ya? Bisa nggak kalau sepedanya gue balikin lagi ke elo”
“HAHHHH???!!”

2 comments:

Anonymous said...

gokil abess...
Huaaaahahahahaha!
ga nyangka lo yang hebat itu ternyata ga bisa naek sepeda.
palagi yg lo ga bisa nenk?
kasi tau gue... gue mau d' kasi les private. Gretong! asal lo mau aje. call gue ya...

a man from heaven

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.